Berbagai
perspektif pembangunan tersebut merujuk kepada gelombang besar terminologi:
minimalisasi peran pemerintah dan maksimalisasi peran swasta, seperti tulisan
Osborne-Gaebler-Plastrik dalam Reinventing
Government (1993) dan Banishing
Bereaucracy (1997) hingga Amartya Sen dalam Development as Freedom
(2000). Gelombang privatisasi pembangunan tersebut muncul seiring pendekatan good governance,
pemberdayaan, gerakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pendekatan
partisipatoris hingga masyarakat madani (Harun, 2007: 15-16)
Melihat
elemen-elemen pembangunan tersebut, maka sebenarnya pembangunan mencakup jauh
lebih banyak aspek. Bahwa pembangunan menuntut pendapatan per kapita yang lebih
tinggi adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Namun, pembangunan yang mereduksi
nilai-nilai dasar kemanusiaan dan menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai
satu-satunya indikator pembangunan justru mereduksi makna pembangunan itu
sendiri.
Dalam kaitan itu,
konsep pembangunan yang diintroduksi Amartya Sen dalam Development as Freedom
(2000) telah membantah pandangan tersebut. Dalam studinya, Sen merumuskan
kembali pengertian yang menyeluruh tentang pembangunan. Dalam dataran ini, Sen
merumuskan pengertian kembali kemiskinan. Dalam pandangannya, berbagai kondisi,
selain kekurangan pangan, seperti kurangnya nutrisi, buta huruf, tiadanya
kebebasan sipil dan hak-hak berdemokrasi, diskriminasi, pengidapan penyakit, dan
berbagai bentuk perampasan hak-hak milik (entitlement)
pribadi adalah bentuk-bentuk kemiskinan yang menciptakan penderitaan. Di sini
lah Sen merumuskan definisi baru pembangunan sebagai kebebasan (development as freedom)
(Rahardjo dalam Sen, 2001: xiv-xv).
Argumentasi Sen
tersebut bukan tanpa alasan. Sebab, kendati sebagian orang berhasil menikmati
kemakmuran, namun kualitas hidup masih tetap jauh dari jangkauan banyak orang.
Kendati hampir selama dua dasawarsa pertumbuhan ekonomi yang pesat terjadi di
sejumlah negara, namun banyak orang lain tidak mendapatkan keuntungan dari
kemajuan tersebut. Dalam banyak situasi, kebijakan pembangunan ternyata lebih
menguntungkan vested
interest kaum elite, sehingga dengan demikian tidak mempromosikan
investasi yang memadai dalam modal manusia dan modal alam, yang sangat esensial
bagi pertumbuhan berbasis luas. Kualitas faktor-faktor yang memberikan
kontribusi bagi pertumbuhan menuntut perhatian fundamental apabila kemiskinan
ingin dikurangi dan kualitas hidup yang lebih baik dapat dicapai oleh semua
orang (Thomas, et.al., 2001:
xvi).
Posting Komentar
Tolong Tinggalkan Komentar Tentang Post ini